Perlu diketahui, bahwa
keterangan ini secara keseluruhan diambil dari Al Adzkar Imam Nawawi
(631-676H).
Perlu diketahui, telah menjadi
kesepakatan para Ulama bahwa membaca ta’awudz setelah membaca doa istiftah hukumnya sunah. yaitu
dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan firman Alloh Swt, Q.S An-Nahl,
ayat: 98
فَإِذَا
قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila
kamu membaca Al-Quran, hendaknya kamu memmohon perlindungan kepada Allah dari
syaitan yang terkutuk. (Q.S An-Nahl: 98)
Menurut
Jumhurul ulama’ Ayat diatas maknanya, jika kami menghendaki membaca Al-Qur’an,
maka terlebih dahulu membaca ta’awudz.
Perlu diketahui, bacaan ta’awudz
yang terpilih, adalah A’údzubil lahi minasy syaithanir rajiim, ada
juga yang mengatakan A’údzubil lahis samii’il ‘aliim, minasy syaithanir rajiim.
Kedua kalimat diatas shahih, akan tetapi yang masyhur berdasarkan pendapat yang
mukhtar adalah yang pertama.
Telah kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi,
An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan lainnya, sungguh sebelum Nabi Saw membaca Al-Qur’an
sebelum dalam shalat, beliau membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ، مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وهَمْزِهِ
A’údzubil lahi minasy syaithanir
rajiimو
min nafkhiḫi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh
dari godaan setan yang terkutuk, dari tiupan dan bisikannya.
Dalam redaksi riwayat lain dengan menggunakan lafadz:
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ،
مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
A’údzubil lahis samii’il aliim minasy
syaithanir rajiim min nafkhihi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh,
Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, dari
tiupan dan bisikannya.
Dalam penafsiran hadits
diatas, hamzihi, adalah penyakit gila, nafkhihi adalah: sifat
sombong, dan naftsihi adalah sair-sair yang
buruk. Wallaahu
a’lam..
Perlu diketahui, bahwa membaca ta’awudz hukumnya
sunah, bukan wajib. Jika meninggalkannya maka tidak berdosa dan tidak batal
shalatnya, baik meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa dan tidak
melakukan sujud syahwi bagi yang meninggalkannya. Membaca ta’awudz disunahkan pada semua shalat, baik shalat
fardlu atau semua shalat sunah, begitu juga pada shalat
janazah. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih. Berdasarkan
kesepakatan Ulama disunahkan
juga bagi orang yang membaca Al-Qur’an diluar waktu shalat.
Perlu diketahui, berdasarkan kesepakatan Ulama membaca ta’awudz
disunahkan pada rakaat pertama, jika meninggalkannya pada rakaat pertama, maka
membaca ta’awudz pada rakaat ke-dua, dan jika tidak membaca ta’awudz
pada rakaat ke-dua maka membacanya pada rakaat setelahnya dan seterusnya.
Kemudian jika telah membaca ta’awudz pada rakaat pertama, apakah disunahkan
juga pada rakaat kedua? Dalam hal ini dalam pandangan Ulama Syafi’iyah ada dua
pendapat, sedangkan pendapat yang ashah adalah tetap disunahkan, akan
tetapi lebih ditekankan pada raka’at yang pertama.
Jika
membaca ta’awudz pada shalat yang dibaca pelan, maka bacaan ta’awudz
juga dibaca pelan. Kemudian jika pada shalat yang dibaca keras,
apakah ta’awudz dibaca dengan keras juga? Dalam hal ini para Ulama berbeda
pendapat. Sebagian Ulama Syafi’iyah mengatakan bacaan ta’awudz dibaca
pelan, sedangkan menurut jumhurul ulama (kebanyakan ulama) pendapat Imam
Syafi’i ada dua pendapat dalam kesunahannya, hukumnya sama antara dibaca pelan
dan keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau dalam kitab Al-Umm, sedangkan
pendapat yang kedua dibaca dibaca keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau
dalam kitab Al-Imla’.
Sebagian
ulama Syafi’iyah ada yang mengatakan, ta’awudz dibaca keras, pendapat
ini dibenarkan oleh As-Syaikh Hamid Al-Asfarayiny, salah satu imam dari
kalangan Syafi’iyah yang berasal dari negara Irak dan sahabatnya yang bernama Al-Mahamily,
hal ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abu Hurairah Ra. Ibnu Umar dalam
membaca ta’awudz, beliau membacanya dengan pelan. Pendapat ini adalah
pendapat yang ashah menurut kebanyakan Ulama Syafi’iyah, yaitu pendapat
yang mukhtar (terpilih). Wallahu a’lam..
0 komentar:
Posting Komentar