Mengapa Bid’ah,.. lagi lagi dikatakan Cuma ada
bid’ah dlalalah (sesat).?
Dengan alih-alih pernyataan ini, munculah kajian yang ke-dua, setelah
sebelumnya kami pernah membahas dengan ringkas,
“Antara Bid’ah Dan Sunnah” Baca: Antara Bid'ah Dan Sunnah
Disadari atau tidak
sebenarnya, pembahsan ini akan memakan banyak energi dan waktu, serta kurang
bermanfaat. Setelah menimbang dengan sangat, akhirnya tak apalah setengah atau
satu jam penulis meluangkan waktu untuk membuat makalah ini.
Telah
dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam terdahulu, sebagaimana pernyataan
tersebut beliau-beliau tidak serta merta menghukumi haram, jauh bertolak
belakang dengan perkataan orang-orang bodoh yang memvonis semua bida’ah (tanpa
terperinci) adalah dlalalah (tersesat), dan setiap dlalalah adalah
neraka. Menurut kami, mereka terjebak oleh pemahaman yang dangkal, atau apa
mungkin mereka sengaja melakukan pembajakan agama dengan alih-alih “menegakkan sunnah...”
Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum
haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah
(mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan
penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap
sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk
bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih
dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan
kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status
hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib,
sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab semua sesuatu harus
ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak
serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu
bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum.
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)”
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Jika panjenengan.. panjenengan, menganggap pernyataan
ini ngawur alias tanpa tendensi yang memadai, mari kita simak penjabaran Ulama
yang kami, dan kalian tentu mengenal bukan saja kebesaranya, tapi ilmu agama,
wira’i dan kezuhud-an-nya:
۞ Imam Nawawi (631-676H), dalam kitab Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, beliau katakan:
قَالَ الْعُلَمَاءُ؛ الْبِدْعَةُ خَمْسَةُ أَقْسَامٍ؛ وَاجِبَةٌ، وَمَنْدُوْبَةٌ،
وَمُحَرَّمَةٌ، وَمَكْرُوْهَةٌ، وَمُبَاحَةٌ. فَمِنَ الْوَاجِبَةِ نَظَّمَ أَدِلَّةُ
الْمُتَكَلِّمِيْنَ لِلرَّدِّ عَلَى المْلُاَحَدَةِ، وَالْمُبْتَدِعِيْنَ، وَشِبْهُ
ذَلِكَ. وَمِنَ الْمَنْدُوْبَةِ تَصْنِيْفُ كُتُبِ الْعِلْمِ، وَبِنَاءُ الْمَدَارِسِ،
وَالرِّبَطُ وَغَيْرُ ذَلِكَ. وَمِنَ الْمُبَاحِ التَّبْسِطُ فِي أَلْوَانِ الْأَطْعِمَةِ
وَغَيْرُ ذَلِكَ. وَالْحَرَامُ وَالْمَكْرُوْهُ ظاَهِرَانِ، وَقَدْ أَوْضَحَتُ الْمَسْأَلَةَ
بِأَدِلَّتِهَا الْمَبْسُوْطَةِ فِي تَهْذِيْبِ الْأَسْمَاءِ وَاللُّغَاتِ.
“’Para
Ulama mengatakan; bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni
wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah
yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”,
diantara bid’ah yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama
mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orang-orang atheis, ahli bid’ah dan
seumpamanya; diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang
kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara
bid’ah yang mubah adalah mengkreasikan macam-macam makanan dan yang lainnya,
sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah saya jelaskan
permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal
Lughaat” Syarh Shahih Muslim Imam An-Nawawi [6/154-155].
Mari kita meluncur di TKP, apa benar apa yang
dikatakan Imam Nawawi, bahwa beliau menjelaskan bid’ah makruhah & bid’ah
muharramah. Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul
Asma’ Wal Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian
bid’ah tersebut :
قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامِ الْمُجَمِّعُ عَلَى إِمَامَتِهِ وَجَلَالَتِهِ وَتَمَكِّنُهُ
فِيْ أَنْوَاعِ الْعُلُوْمِ وَبَرَاعَتِهِ أَبُوْ مُحَمَّد عَبْدُ الْعَزِيْزِ بْنِ
عَبْدِ السَّلَامِ رَحِمَهُ اللهِ وَرَضِيَ عَنْهُ فِي آخِرِ كِتَابِ "الْقَوَاعِدُ"؛
الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى وَاجِبَةٍ، وَمُحَرَّمَةٍ، وَمَنْدُوْبَةٍ، وَمَكْرُوْهَةٍ،
وَمُبَاحَةٍ، قَالَ؛ وَالطَّرِيْقُ فِيْ ذَلِكَ أَنْ تَعَرَّضَ الْبِدْعَةُ عَلَى
قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ، فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ،
أَوْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَمُحَرَّمَةٌ، أَوِ النَّدْبُ فَمَنْدُوْبَةٌ،
أَوِ الْمَكْرُوْهُ فَمَكْرُوْهَةٌ، أَوِ الْمُبَاحُ فَمُبَاحَةٌ، وَلِلْبِدْعِ الْوَاجِبَةِ
أَمْثَلُةُ مِنْهَا؛ اَلْإِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يَفْهَمُ بِهِ كَلَامُ
اللهِ تَعَالَى وَكَلَامُ رَسُوْلِ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَذَلِكَ
وَاجِبٌ؛ لِأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ، وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلَّا
بِذَلِكَ، وَمَا لَا يُتِمُّ الْوَاجِبَ إِلَّا بِهِ، فَهُوَ وَاجِبٌ، الثَّانِيْ
حِفْظُ غَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُنَّةِ فِي اللُّغَةِ، الثَّالِثُ تَدْوِيْنُ أُصُوْلِ
الدِّيْنِ وَأُصُوْلُ الْفِقْهِ، الرَّابِعُ الْكَلَامُ فِي الْجُرُحِ وَالتَّعْدِيْلِ،
وَتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَقَدْ دَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيْعَةِ
عَلَى أَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ، فِيْمَا زَادَ عَلَى الْمُتَّعِيْنِ
وَلاَ يَتَأَتَّى ذَلِكَ إِلَّا ِبمَا ذَكَرَنَاهُ، وَلِلْبِدْعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ
مِنْهَا؛ مَذَاهِبُ الْقَدِرِيَّةِ وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُرْجِئَةِ وَالْمُجَسِّمَةِ
وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلَاءِ مِنَ الْبِدْعِ الْوَاجِبَةِ، وَلِلْبِدْعِ الْمَنْدُوْبَةِ
أَمْثِلَةٌ؛ مِنْهَا إِحْدَاث الرُبِّطِ وَالْمَدَارِسِ، وَكُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعَهِّدُ
فِي الْعِصْرِ الْأَوَّلِ، وَمِنْهَا التَّرَاوِيْحِ، وَالْكَلَامِ فِي دَقَائِقِ
التَّصَوُّفِ، وَفِي الْجِدَلِ، وَمِنْهَا جَمْعُ الْمُحَافِلِ لِلإسْتِدْلَالِ إِنْ
قُصِدَ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى. وَلِلْبِدْعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلُةٌ؛
كَزَخْرَفَةِ الْمَسَاجِدِ، وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ، وِلِلْبِدْعِ الْمُبَاحَةِ
أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا الْمُصَافَحَةُ عَقِبَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ، وَمِنْهَا: التَّوَسَّعُ
فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمُآكِلِ، وَالْمُشَارِبِ، وَالْمَلَابِسِ، وَالْمَسَاكِنِ،
وَلُبْسُ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ الْأَكْمَامِ. وَقَدْ يَخْتَلِفُ فِيْ بَعْضِ
ذَلِكَ فَيَجْعَلُهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مِنَ الْبِدْعِ الْمَكْرُوْهَةِ، وَيَجْعَلُهُ
آخَرُوْنَ مِنَ السُّنَنِ الْمَفْعُوْلَةِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ - صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَمَا بَعْدَهُ، وَذَلِكَ كَاْلإِسْتِعَاذَةِ فِي الصَّلَاةِ
وَالْبَسْمَلَةِ، هَذَا آخَرُ كَلَامِهِ.
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis
Salam didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum
yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang demikian
untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syari’ah, sehingga
- Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
- Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
- Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
- Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
- Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
- Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, demikian itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal tersebut. Kemudian, kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu hukumnya wajib, menjaga bahasa kalimat-kaliam gharib (asing) didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.
- Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ah wajibah).
- Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain sebagainya.
- Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.
- Bid’ah Mubahah seperti : mushafahah (berjabat tangan) selesai shalat Shubuh dan ‘Asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. "
Lihat: Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam an-Nawawi
[3/22-23], beliau Imam Nawawi menukil dari kitab Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin
Abdis Salam [2/ 204]
Penulis mengira, setelah meluangkan waktu membaca
ungkapan-ungkapan Ulama berbobot diatas,
sebenarnya tidak perlu disimpulkan juga sudah mafhum. Jika memaksa, maka
akan kami simpulkan, berdasarkan pemahaman pendek saya, kesimpulannya: Sudah
jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau
terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang
tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah
(baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam, di
istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah
mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :
أَخْبَرَنَا أَبُوْ سَعِيْدٍ بْنِ أَبِيْ عَمْرُو، ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ مُحَمَّدٍ
بْنِ يَعْقُوْب , ثَنَا الرَّبِيْعُ بْنِ سُلَيْمَانَ، قَالَ: قَالَ الشَّافِعِيُّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: الْمُحْدِثَاتُ مِنَ الْأُمُوْرِ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا
أَحْدَثَ يُخَالِفُ كِتْابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا , فَهَذِهِ
الْبِدْعَةُ الضَّلَالَةِ. وَالثَّانِيَّةُ: مَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ لَا خِلَافَ
فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحَدِّثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ، وَقَدْ قَالَ
عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ قِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ: «نِعْمَتُ الْبِدْعَةِ
هَذِهِ» يَعْنِي أَنَّهَا مُحْدِثَةٌ لَمْ تَكُنْ , وَإِنْ كَانَتْ فَلَيْسَ فِيْهَا
رَدٌّ لِمَا مَضَى
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu
‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah
menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i
pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua
bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisihi
al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini termasuk perkara baru yang
disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang
baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini
perkara baru (muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata
tentang shalat pada bulan Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah
adalah ini”, yakni perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun
keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya.
Al-Madkhal Ilaa Sunanil Kubraa Lil-Imam Al-Baihaqi
[253] ; Disebutkan Juga Didalam Tahdzibul Asmaa’ Wal Lughaat [3/23]
Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti
diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah
disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan Ulama syafi’iyah
juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama Syafi’iyah. Perincian Imam
‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam rahimahullah tersebut kadang berbeda dengan Ulama
madzhab lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai
maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahami-nya-pun
berbeda walaupun esensi sebenarnya sama; yaitu para Ulama sama-sama
menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti
kalangan yang selalu menuding-menuding “ini
sesat” dan “itu
sesat”, sekali lagi…..”bukan
seperti pemahaman mereka itu”.
Wallahu a’lam bish shawab.
0 komentar:
Posting Komentar